Mengulik Sejarah Stovia – Museum Kebangkitan Nasional, Jakarta Pusat, dulunya merupakan sekolah kedokteran bumiputera yakni School tot Opleiding van Inlandsche Art (Stovia) yang di dirikan pada masa pemerintahan Hindia Belanda.
“Stovia ini sebenarnya respons kebutuhan tenaga medis di lapangan yang semakin meningkat dan tidak bisa di tangani semuanya oleh tenaga medis mahjong slot Belanda,” kata Educator Museum Kebangkitan Nasional, Titis Kuncoro Wati kepada sms.northrisestudent.net, Jumat (12/5/2023).
Adapun jauh sebelum terbentuknya Stovia, sekolah pendidikan dokter mulanya bernama Sekolah Dokter Djawa.
Sejarah Sekolah Dokter Djawa
Berdasarkan informasi yang sms.northrisestudent.net peroleh saat berkunjung ke Museum Kebangkitan Nasional, berdirinya Sekolah Dokter Djawa erat kaitannya dengan pemberantasan wabah cacar.
Pada saat itu wabah cacar menjangkiti masyarakat di sepanjang pantai utara Pulau Jawa di wilayah Karesidenan Banyumas.
Alhasil, guna memberantas wabah tersebut, Gubernur Jenderal Duymaer van Twist mendirikan sekolah khusus petugas vaksin guna menangani wabah.
Akan tetapi, seiring berjalannya waktu, Pemerintah Belanda khawatir akan tingginya angka kematian penduduk yang akan berdampak terhadap hasil panen perkebunan.
Di karenakan jumlah tenaga medis di lapangan pada saat itu tidak mencukupi untuk mengobati pasien, maka Dokter Willem Bosch mencetuskan gagasan untuk mendirikan sekolah dokter.
Singkat cerita, pada Januari 1851 berdirilah Sekolah Dokter Djawa di Rumah Sakit Militer Weltevreden dengan masa pendidikan selama dua tahun.
“Dulunya Sekolah Dokter Djawa, sekolahnya dulu di RSPAD (Rumah Sakit Pusat Angkatan Darat,” kata Titis.
Berdirinya Stovia
Menurut penuturan Titis, Stovia merupakan bentuk penyempurnaan dari Sekolah Dokter Djawa.
Stovia di dirikan oleh Pemerintah Hindia Belanda dengan tujuan setiap dokter yang lulus dapat di tempatkan dan mengobati masyarakat di seluruh kawasan Hindia Belanda.
Meskipun saat lulus sudah mendapat gelar sebagai seorang dokter, akan tetapi lulusan Stovia hanya boleh menjadi asisten dokter asal Belanda saja.
“Kalaupun mereka (lulusan Stovia) jadi dokter utama, itu mereka di tempatkan di pelosok untuk mengobati pekerja di perkebunan,” kata Titis.
Kurikulum yang di gunakan selama masa belajar di Stovia pun menyesuaikan dengan kurikulum sekolah kedokteran di Belanda. Hal ini dilakukan supaya kualitas lulusan Stovia bisa setara dengan dokter lulusan Belanda.
“Meskipun sudah lulus jadi dokter, mereka kurang di akui oleh masyarkat. Maka dari itu kebanyakan lulusan Stovia langsung melanjutkan pendidikan dokter di Belanda supaya bisa di akui,” papar Titis.
Stovia mulanya di buka untuk kalangan laki-laki pribumi, saat itu sekolahnya berupa ikatan dinas dan gratis. Setelahnya Stovia menjadi sekolah berbayar, dan terbuka untuk semua kalangan.
Gedung yang di gunakan sebagai sekolah sekaligus asrama para pelajar Stovia pada masa itu kini di jadikan Museum Kebangkitan Nasional. Lokasinya di Jalan Abdul Rachman Saleh Nomor 26, Senen, Kecamatan Senen, Kota Jakarta Pusat.
Baca juga artikel terkait lainnya yang ada di sms.northrisestudent.net
Gedung Stovia dan Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo
Di lansir dari laman resmi Museum Kebangkitan Nasional. Seiring perkembangan zaman, gedung Stovia di anggap tidak lagi representatif untuk di jadikan sebagai tempat pendidikan dokter.
Oleh karena itu, sekitar tahun 1919 pemerintah Hindia Belanda membangun gedung baru di Salemba yang di beri nama Centrale Burgerlijke Ziekeninrichting (sekarang menjadi Rumah Sakit Dr. Cipto Mangunkusumo).
Pelajar yang dulu menetap di asrama kemudian di berikan kebebasan untuk memilih tempat tinggal di asrama ataupun indekos di rumah penduduk.
Setelahnya, pada 5 Juli 1920 secara resmi slot kamboja seluruh kegiatan pendidikan Stovia di pindahkan ke jalan Salemba yang sampai sekarang di kenal dengan “Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia”.
Penggunaan gedung Stovia sebagai tempat kegiatan pembelajaran berakhir saat bala tentara Jepang masuk ke Indonesia pada tahun 1942.