Situs Berita Sejarah Pendidikan

Pahlawan Nasional yang Berjuang untuk Perkembangan Pendidikan Indonesia

Pahlawan Nasional yang Berjuang untuk Perkembangan Pendidikan Indonesia

Pahlawan Nasional yang Berjuang untuk Perkembangan Pendidikan Indonesia – Pahlawan nasional atau pahlawan yang memperjuangkan kemerdekaan slot qris 5000 Indnoesia kebanyakan berjuang secara fisik berhadapan langsung melawan penjajah. Namun, ada banyak aspek yang mendukung kemerdekaan Indonesia selain perang fisik. Pendidikan adalah salah satu bidang yang mendukung kemerdekaan Indonesia dengan mendukung kemampuan mental dan literasi penduduk Indonesia agar tak tertindas.

Kiai Ahmad Dahlan (1868-1923)

Kiai Ahmad Dahlan yang memiliki nama asli Muhammad Darwis ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 657/Tahun 1961. Dia lahir di Yogyakarta pada 1868. Ayahnya adalah Kiai Haji Abu Bakar, khatib masjid besar Kesultanan Yogyakarta. Saat menunaikan ibadah haji di Mekkah, dia memperdalam pengetahuan qira’at, tauhid, tasawuf, dan ilmu falak. Tantangan silih berganti beriringan dakwahnya dalam memperbarui cara berpikir beragama yang sebelumnya kolot.

Tahun 1912, dia mendirikan Muhammadiyah. Kiai Ahmad Dahlan aktif mengadakan dakwah. Ia memberikan pelajaran agama bersamaan dengan pengetahuan umum yang dianggap tabu. Selanjutnya, Muhammadiyah berkembang pesat disertai berdirinya rumah sakit, poliklinik, dan rumah yatim riatu. Tahun 1918, dia mendirikan sekolah Aisyah untuk kemajuan ibu. Ditambah ia membentuk Hizbul Wathan bagi generasi muda. Kiai Ahmad Dahlan meninggal di Yogyakarta pada 23 Februari 1923.

Raden Dewi Sartika (1884-1947)

Raden Dewi Sartika lahir di Cicalengka, Jawa Barat pada 4 Desember 1884. Ayahnya adalah Raden Somanegara, Patih di Bandung. Sayangnya, dia dibuang beserta istrinya ke Ternate karena menentang Pemerintah Hindia Belanda. Dewi Sartika hanya menempuh pendidikan SD. Usia 15 tahun dia tinggal di Bandung. Berkat bantuan dan dorongan kakeknya RAA Martanegara dan Hamer, Inspektur Kantor Pengajaran maka pada 16 Januari 1904 Dewi Sartika mendirikan sekolah yang diimpikan. Sekolah itu bernama Sekolah Istri.

Awalnya jumlah murid hanya 20 orang dengan dua ruangan. Mereka menumpang di Kantor Kepatihan Bandung. Muridnya dibekali pelajaran berhitung, membaca, menulis, menjahit, merenda, menyulam, dan agama.

Tahun 1910 sekolah itu berganti nama menjadi Sekolah Keutamaan Istri. Sekolah sejenis ini kemudian berdiri juga di Kota Garut, Tasikmalaya, Purwakarta, dan sebagainya. Atas jasanya, ia diangugerahi bintang perak oleh pemerintah Hindia Belanda.

Tahun 1929 sekolah itu memiliki gedung sendiri. Saat masa perang ia mengungsi ke Cinenan dan meninggal di sana pada 11 September 1947, selanjutnya jasadnya dipindahkan ke Bandung. Raden Dewi Sartika ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 252/Tahun 1966.

Roehana Koeddoes (1884-1972)

Dikutip dari laman stekom.ac.id, Roehana Koeddoes lahir di Koto Gadang, Kabupaten Agam, Sumatera Barat pada 20 Desember 1884. Dia merupakan bibi dari penyair ulung Indonesia Chairil Anwar. Roehana adalah saudara tiri Sutan Sjahrir serta sepupu Agus Salim.

Dia termasuk wanita cerdas yang tak mengenyam pendidikan formal. Pada 1905, ia mendirikan sekolah artisanal di Koto Gadang.

Selanjutnya, pada usia 24 tahun di 1908 ia menikah dengan Abdoel Koeddoes, seorang notaris. Pada 1911, dia mendirikan organisasi perempuan bernama Kerajinan Amai Setia dengan spirit mengajarkan keterampilan di luar tugas ruumah tangga, seperti membaca tulisan Jawi dan Latin, serta mengelola rumah tangga.

Di Bukittinggi Roehana mendirikan sekolah bernama Roehana School. Ia mengelolanya tanpa memnita bantuan siapa pun guna menghindari permasalahan.

Dia mengusulkan pembuatan surat kabar tentang perempuan kepada Soetan Maharadja, pemimpin redaksi Oetoesan Melajoe. Akhirnya ia menjadi pemimpin redaksi Soenting Melajoe untuk terbitan pertama pada 10 Juli 1912 sebagai sebuah surat kabar berbahasa Melayu. Dia dibantu putri Soetan Maharadja, Zoebaidah Ratna Djoewita.

Roehana meninggal di Jakarta pada tanggal 17 Agustus 1972 dan dimakamkan di Taman Pemakaman Umum Karet Bivak. Roehana Koeddoes ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai Surat Menteri Sosial RI No. 23/MS/A/09/2019.

Dokter Wahidin Sudirohusodo (1852-1917)

Wahidin yang ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 088/TK/Tahun 1973 ini lahir di Desa Mlati, Yogyakarta pada 7 Januari 1852. Setelah menyelesaikan Eropeesche Lagere School (SD Belanda), dia melanjutkan ke Sekola Dokter Jawa di Jakarta.

Wahidin Sudirohusodo memiliki cita-cita memajukan pendidikan bangsanya. Baginya banyak kesempatan untuk anak-anak Indonesia dengan otaknya yang cemerlang, tapi kendala ekonomi menghalanginya, sehingga tak bersekolah.

Ia berjuang dalam pendidikan dengan berkeliling ke pulau Jawa demi mencari dana untuk beasiswa bagi anak-anak cerdas. Mahasiswa STOVIA menanggapi usaha Wahidin dengan mendirikan organisasi bernama Budi Utomo. Pada 20 Mei 1908, Soetomo terpilih menjadi ketua.

Organisasi ini sebagai pelopor Pergerakan Nasional di Indonesia karena memiliki sistem modern. Wahidin memiliki istri asli Betawi bernama Anna. Mereka dikaruniai dua putra. Pertama bernama Abdullah Subroto dan kedua Basuki Abdullah. Wahidin meninggal di Yogyakarta pada 26 Mei 1917.

Kiai Moh. Hasyim Asyari (1875-1947)

Kiai Hasyim Asyari merupakan pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 294/Tahun 1964. Dia termasuk pelopor persatuan umat dan tokoh modernisasi pesantren. Hasyim Asyari lahir di Demak pada 20 April 1875. Orang tua dan pendahulunya merupakan pemimpin pesantren terkenal.

Saat usia 13 tahun, Kiai Hasyim sudah mampu mengajarkan beberapa buku agama kepada teman-temannya. Demi memperdalam pengetahuan agamanya, ia melanjutkan studi ke Mekkah pada 1896. Di sana ia tinggal selama tujuh tahun sekaligus melaksanakan ibadah haji.

Setibanya di Tanah Air, ia menjadi pengajar di pesantren kakeknya. Sampai tiba suatu masa ia mendirikan togel pesantrennya sendiri di Desa Cukir, Jombang. Pesantren itu bernama Pesantren Tebu Ireng yang didirikan pada 1907.

Oto Iskandar Dinata (1897-1945)

Oto Iskandar Dinata lahir di Bandung pada 31 Maret 1897.  Setelah selesai HIS di Bandung, dia melanjutkan HKS (Sekolah Guru Atas) di Purworejo, Jawa Tengah.

Pada 1928, dia mendirikan Sekolah Kartini. Pada masa penjajahan Belanda dia menjadi anggota Volksraad (dewan rakyat), sementara itu pada 1935 dia ditarik dari Volksraad karena memprotes pemerintah Belanda.

Tahun 1939 dia bergabung dalam Gabungan Politik Indonesia (GAPI). Pada masa pendudukan Jepang, pasca partai-partai dibubarkan, ia aktif di surat kabar Warta Harian Cahaya. Selanjutnya dia menjadi anggota Jawa Hokokai (Badan Kebaktian Rakyat Jawa), dan anggota Cuo Sangi In (Dewan Perwakilan Rakyat).

Menjelang proklamasi kemerdekaan Indonesia dirinya menjadi Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) dan turut menyusun UUD 1945. Dia menjadi Menteri Negara dalam kabinet RI.

Oto Iskandar Dinata meninggal pada 20 Desember 1945 di Mauk (Banten) dibunuh dalam penculikan pada Oktober 1945. Dia ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden RI No. 088/TK/Tahun 1973.

Ki Hajar Dewantara (1889-1959)

Ki Hajar Dewantara memiliki nama asli R. M. Suwardi Suryaningrat lahir di Yogyakarta pada 2 Mei 1889. Setelah selesai ELS (Sekolah Dasar Belanda), ia melanjutkan pelajarannya ke STOVIA (Sekolah Dokter Bumiputera), tapi tak sampai tamat karena sakit. Selanjutnya dia menulis di berbagai slot server thailand surat kabar, seperti Sedyotomo, Midden Java, De Express dan Utusan Hindia. Sebab tulisannya ia diasingkan ke Belanda.

Pasca kepulangan dari pengasingan Ki Hajar Dewantara mendirikan perguruan Taman Siswa pada 3 Juli 1929. Perguruan ini bercorak nasional dan mencoba menanamkan rasa kebangsaan dalam jiwa anak didik. Pemerintah Belanda berusaha menghalanginya dengan mengeluarkan Ordonisasi Sekolah Liar pada 1 Oktober 1932. Berkat kegigihannya, ordonisasi tersebut dapat dicabut. Pasca kemerdekaan Indonesia, Ki Hajar Dewantara pernah menjabat Menteri Pendidikan, Pengajaran dan Kebudayaan. Ia meninggal di Yogyakarta pada 26 April dan dimakamkan di sana.

Raden Ajeng Kartini (1879-1904)

RA Kartini lahir di Jepara, Jawa Tengah pada 21 April 1879. Ayahnya adalah Bupati Jepara saat itu. Kartini hanya sekolah sampai SD. Meski hanya lulusan SD, ia memiliki semangat literasi yang sangat kuat. Ia sering membaca majalah dan buku yang mengisahkan kondisi wanita di Eropa yang merdeka. Setelah itu muncul keinginan Kartini mendirikan sekolah di Jepara. Ia dikenal sering mengirim surat dengan temannya dari Belanda dan mendapat beasiswa dari sana. Sayangnya, ayahnya memerintahkan Kartini untuk menikah dengan Raden Adipati Joyodiningrat, Bupati Rembang.

Suaminya mendukung cita-cita Kartini untuk mendirikan sekolah, dan diberilah nama “sekolah Kartini” di Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Malang, Madiun, Cirebon, dan lain-lain. Kartini meninggal dalam usia 25 tahun saat melahirkan anak pertamanya pada 17 September 1904. Kumpulan surat-suratnya diterbitkan menjadi buku dengan judul “Door Duisternis tot Lieht” (Habis Gelap Terbitlah Terang. R.A Kartini ditetapkan sebagai pahlawan nasional sesuai SK Presiden No. 108/TK/Tahun 1964.

Exit mobile version